Bagaimana sebaiknya mengajari anak berhitung? Darimana mulainya? Mungkin inilah pertanyaan yang seringkali mengganggu para orang tua maupun guru, terutama di prasekolah dan taman kanak-kanak saat akan memulai memperkenalkan anak pada konsep berhitung. Reys, et al (1998) mengemukakan bahwa tujuan dari pengajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bukanlah untuk membuat anak tahu bagaimana cara menjumlah dan mengurang bilangan. Namun yang lebih penting adalah anak memahami penggunaannya pada berbagai situasi sebagai pemecahan masalah. Hal ini dapat tercapai apabila anak membangun pengetahuannya secara bertahap. Adapun yang menjadi dasar pertama kali adalah pemahaman mengenai bilangan, baru setelah itu dikenalkan dengan model operasi bilangan (penjumlahan/pengurangan). Pemahaman mengenai bilangan dikenal dengan istilah number sense. Number sense adalah  perasaan intuitif terhadap bilangan-bilangan dan penggunaan serta interpretasinya yang beragam. ”Number sense refers to an intuitive feel for numbers and their various uses and interpretations”.  Number sense juga meliputi kemampuan untuk menghitung secara akurat dan efisien, untuk menemukan kesalahan, dan untuk mengenali hasilnya secara logis. Individu dengan number sense yang baik akan dapat memahami bilangan dan menggunakannya secara efektif dalam kehidupan sehari-hari (McIntosh et al, 1992 dalam Reys, et al 1998).
NCTM Curicculum and Evaluation standards for School Mathematics (1989, dalam Reys, et al 1998) menggambarkan anak yang memiliki number sense yang baik sebagai berikut;

·         Memahami makna bilangan secara menyeluruh
·         Dapat mengembangkan hubungan-hubungan antara bilangan-bilangan
·         Mengenali besar relatif dari bilangan
·         Mengetahui efek relatif dari operasi terhadap bilangan
·         Mengembangkan dasar untuk mengukur objek dan situasi umum di lingkungan mereka.

Visi dari standar NCTM terkait dengan number sense adalah bahwa anak perlu mengembangkan konsep secara bermakna sehingga mereka dapat menggunakan bilangan secara efektif baik di dalam maupun di luar sekolah. Perlu dipahami bahwa number sense bukanlah suatu hal yang secara pasti dimiliki atau tidak dimiliki oleh anak. Perkembangan number sense merupakan proses yang berlangsung terus menerus. Anak mulai mengembangkan pemahaman mengenai bilangan jauh sebelum mereka bisa menghitung. Misalnya, anak dapat menjawab pertanyaan ”berapa umur kamu?” atau ”kakak kamu ada berapa?”. Pengalaman anak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenalkan anak pada nama bilangan sekaligus juga pada lambangnya. Nama dan lambang tersebut diingat melalui suara dan apa yang anak lihat dan merupakan awal yang baik untuk pengenalan bilangan. Namun pengetahuan tersebut tidak menunjukkan bahwa anak benar-benar memahami bilangan.

Pengalaman anak tersebut menekankan karakteristik penting dari bilangan, yaitu abstraksi. Hal tersebut tidak bisa digambarkan hanya dalam satu situasi. Penelitian mengenai bagaimana anak mengembangkan number sense memperjelas bahwa semakin beragam dan berbeda pengalaman mereka, semakin mereka dapat mengabstraksikan konsep bilangan dari pengalaman mereka tersebut (Payne and Huinker 1993 dalam Reys et al 1998). Membantu anak memiliki dasar number sense yang baik menjadi penekanan. Hasil peneltian longitudinal (misalnya penelitian  Krajewski, 2003) menunjukkan bahwa pemahaman mengenai kuantitas dan bilangan merupakan kompetensi dasar yang penting untuk pembelajaran matematika.

Number sense berkembang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Prenumber concepts
Bilangan merupakan cara mendasar untuk menggambarkan dunia. Bilangan merupakan abstraksi yang diterapkan dalam situasi nyata maupun situasi imajinasi secara luas. Misalnya : lima anak, lima permen, lima tahun, lima meter, lima pilihan. Karena bilangan adalah hal yang abstrak, maka untuk mengkomunikasikannya, kita membutuhkan representasi – sesuatu yang berbentuk fisik, dapat dikatakan, atau ditulis. (National Research Council, 2001 dalam Kilpatrick, 2001). Pemahaman mengenai bilangan dimulai dengan pengalaman yang tidak langsung berhubungan dengan lambang bilangan, namun merupakan dasar pemahaman terhadap konsep bilangan dasar ini meliputi:
a.      Classification
Mengorganisasikan informasi, termasuk mengklasifikasikan merupakan hal yang penting  untuk dipelajari oleh anak usia dini. Anak menggunakan atribut yang ada pada suatu objek dan memisahkannya melalui berbagai cara. Awalnya, pemisahan bisa hanya melibatkan satu atribut saja. Selanjutnya, atribut yang dilibatkan bisa semakin kompleks, misalnya anak-anak diminta untuk menemukan balok biru yang besar. Selanjutnya, guru bisa meminta murid untuk mencari persamaan dan perbedaan dari suatu objek. Classification merupakan dasar untuk belajar mengenai dunia nyata dan bisa dilakukan dengan atau tanpa lambang bilangan. Misalnya anak bisa memisahkan kelompok anak laki-laki dan perempuan. Kemampuan mengklasifikasikan merupakan prasyarat untuk memahami pengerjaan  tugas-tugas yang berhubungan dengan bilangan. Jika anak ingin mengetahui berapa jumlah anak laki-laki di kelas, maka ia harus mampu mengenali (mengklasifikasikan) anak laki-laki. Dengan demikian, sebelum anak bisa menghitung, mereka harus mengetahui apa yang mereka hitung. Kesempatan untuk memisahkan dan mengklasifikasikan benda menajamkan kemampuan berpikir mereka.  Anak-anak belajar untuk membedakan antara kucing dan anjing, reptil dan mamalia, atau jenis mainan yang mereka mainkan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengklasifikasikan, yang bukan saja membantu mereka untuk memahami benda-benda di sekitar mereka, namun juga membantu mereka menjadi pemikir yang fleksibel (flexible thinker). Mengklasifikasikan benda-benda dengan berbagai cara yang berbeda membantu pekembangan keterampilan berpikir.  Ketika anak mengklasifikasikan atau memisah-misahkan benda, anak harus menentukan apakah masing-masing benda memiliki karakteristik yang telah ditentukan. (Whitten, 1989 dalam Reys, et al 1998). Ketika anak menghitung jumlah benda yang memiliki karekteristik tertentu, maka anak dapat menjawab pertanyaan ”berapa banyak”? Melalui pertanyaan ini, anak belajar mengenai bilangan kardinal. Sebelum bisa menjawab pertanyaan mengenai bilangan kardinal ini, anak harus bisa mengidentifikasi karakteristik yang ditentukan dengan tepat, sehingga perhitungan yang dilakukannya pun menghasilkan bilangan yang benar.
Dalam kegiatan mengklasifikasikan, anak juga belajar mengenal konsep operasi dari ”penggabungan” (union) dan ”irisan” (intersection). Combining atau union dari kumpulan yang terpisah merupakan model dasar dari penjumlahan. Hubungan logis ’atau’ bisa digunakan untuk membangun konsep penggabungan dari dua kumpulan atau lebih. Irisan dari dua kelompok atau lebih bisa digunakan untuk membangun konsep hubungan logis ”dan”. Dalam kegiatan ini, anak juga belajar konsep ”bukan” dalam mengidentifikasi karakteristik dari objek. Ketiga hubungan logis yaitu ”atau”, ”dan” serta ”bukan” merupakan konsep dasar untuk mengembangkan pemahaman selanjutnya.
Pada anak usia 4-5 tahun yang masih berada pada tahap preoperational, kegiatan classification yang diberikan pada anak harus memperhatikan kesiapan anak. Mulailah dari klasifikasi sederhana, yang hanya melibatkan satu dimensi (misalnya: balok berbentuk segitiga). Apabila anak telah bisa, mulailah dengan menambah dengan satu dimensi lainnya (misalnya ”balok segitiga yang berwarna merah”).
b.   Pattern
Menentukan pola dan menstrukturkan serta mengorganisasikan informasi (termasuk mengelompokkan) merupakan proses matematika yang penting. Menyusun pola  seperti  abab, abcabc, dan  aabbaabb dapat dipelajari oleh anak usia dini, dan banyak anak di TK dapat melakukan lebih banyak pola yang lebih kompleks (Clements and Sarama, 2007). Belajar melihat unit dalam arah tertentu (dari kiri ke kanan atau dari dari bawah ke atas/dari atas ke bawah) (ab dalam  abab, abc dalam abcabc) dan kemudian mengulangnya secara konstan merupakan inti dari mengulang pola. Belajar untuk meluaskan pola yang diberikan pada bentuk lain (misalnya dari warna ke bentuk atau ke gerakan tubuh), merupakan proses latihan untuk mengabstraksikan dan menggeneralisasikan pola.
Menciptakan, membangun dan menggambarkan pola memerlukan keterampilan penyelesaian masalah (problem solving) dan merupakan bagian penting dalam belajar matematika. Pola bisa berdasarkan pada atribut geometrik (bentuk, sifat), atribut fisik (warna, ukuran), atau atribut afektif (suka, tidak suka). Pola juga bisa mengkombinasikan antara beberapa atribut. Misalnya anak diminta membuat pola sesuai dengan warna kesukaannya, yang berarti menggabungkan atribut afektif dan atribut warna.
Number sense dan eksplorasi matematika berkembang melalui kegiatan membuat pola. Membuat pola mengembangkan number sense, ordering, counting, and sequencing (Coburn, et al, 1992 dalam Reys et al, 1998). Selanjutnya, membuat pola sangat membantu dalam mengembangkan kemampuan menyusun strategi dalam memecahkan masalah matematika.
 Beberapa kegiatan terkait dengan menyusun pola adalah sebagai berikut:
·         Copying a pattern : Anak diminta untuk meniru pola yang sudah ada. Dengan demikian, anak belajar untuk memilih objek yang sama dan menyusunnya dengan pola yang sama.
·         Finding the next one: Menentukan bentuk selanjutnya berdasarkan pola sebelumnya yang telah ada.
·         Extending a pattern: Menentukan pola selanjutnya berdasarkan pola sebelumnya yang telah ada.
·         Making their own pattern : Menyusun pola sendiri

Bahasa dan komunikasi merupakan bagian yang penting dari kegiatan menyusun pola. Anak perlu diarahkan untuk ”think out loud” saat mereka menyusun pola. Tanya mereka mengapa mereka memilih bentuk tertentu. Penguasaan akan pola akan berguna pada tahap selanjutnya, yaitu membilang. Membilang melibatkan beberapa pola yang penting, misalnya pola dalam urutan nama bilangan (satu, dua, tiga,,,,sebelas, dua belas,,,tiga belas,,,,). Anak akan dapat membilang dengan mudah 1 sampai 100 jika mereka dapat mengidentifikasi dan mengulangi polanya.
c.       Comparison
Bilangan menunjukkan “berapa banyak”. Dengan kata lain, bilangan mengkomunikasikan berapa jumlah benda yang ada. Seseorang dapat menggunakan bilangan untuk memberikan informasi yang spesifik dan detil mengenai kumpulan benda atau kuantitas dari benda. Bilangan merupakan abstraksi dari gagasan kuantitas  karena setiap bilangan menunjukkan beragam situasi yang tak terhingga. Kita menggunakan bilangan tiga untuk menggambarkan tiga bebek, tiga mainan dinosaurus, tiga orang, dan sebagainya. Kita bisa berpikir bilangan 3 sebagai hal yang abstrak. Bagaimana seseorang dapat memahami aspek abstraksi dari bilangan ini? Korespondensi satu-satu merupakan intinya. Setiap dua kelompok benda bisa diletakkan dalam susunan korespondensi satu-satu antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal ini berarti setiap anggota dalam kelompok pertama dipasangkan dengan satu anggota dalam kelompok kedua. Misalnya, masing-masing bebek dipasangkan dengan masing-masing mainan dinosaurus. Membandingkan kuantitas merupakan tahap penting selanjutnya dalam number sense. Pertanyaan membandingkan (mana yang lebih banyak, sama, dan mana yang lebih sedikit) mengajarkan mengenai konsep korespondensi satu-satu. Pada tahap ini, anak belajar mengenai konsep ”lebih banyak dari”, ”lebih sedikit dari”, dan ”sama dengan”.  Yang perlu menjadi perhatian pada tahap ini adalah anak harus melakukan kegiatan ini menggunakan benda yang konkrit, yang berbentuk tiga dimensi sehingga anak dapat memasangkan satu-satu setiap benda dalam dua kelompok itu.
d.      Conservation
Conservation of number, yaitu anak memahami bahwa jumlah benda dalam satu kelompok akan tetap jika hanya berubah urutan/tampilan, tidak ditambah atau dikurang. Anak biasanya belum memahami conservation sampai usia 5 atau 6 tahun. Kemampuan anak dalam conservation menandakan bahwa ia siap untuk berpikir abstrak, yaitu melakukan operasi mental di dalam ”pikirannya”. Penguasaan conservation menunjukkan kesiapan anak untuk memahami penjumlahan dan pengurangan yang disajikan dalam bentuk lambang bilangan dan lambang operasi bilangan. Pada usia 4-5 tahun, anak dapat dikenalkan pada konsep ini dengan cara diberikan beragam bentuk penyajian benda yang menunjukkan jumlah yang sama dengan cara memasangkannya satu-satu.  
e.      Group recognition
Pengenalan terhadap jumlah objek sampai dengan lima atau enam tanpa anak harus menghitung diperlukan untuk:
·         Menghemat waktu.
·         Merupakan dasar untuk mengembangkan gagasan mengenai bilangan. Anak yang dapat mengenali bilangan yang kecil (satu sampai dengan lima) memahami hubungan antar bilangan tersebut lebih baik, misalnya bahwa 3 lebih banyak daripada 2, dan 1 lebih sedikit daripada 4.
·         Mempercepat keterampilan menghitung.
·         Mempercepat perkembangan menjumlah dan mengurang. Pengenalan terhadap jumlah objek yang sedikit membuat anak bisa fokus pada operasi bilangan, terlepas dari beban harus menghitung jumlah objek yang sedikit.
Penelitian menunjukkan bahwa pada usia 3 tahun, anak dapat menyebutkan jumlah benda dalam satu kumpulan dengan apa yang disebut “subitizing”. Subitizing adalah “menentukan dengan cepat” jumlah suatu kumpulan benda tanpa membilang. Hal ini hanya bisa untuk jumlah benda yang sedikit (untuk orang dewasa pun, biasanya hanya 1-5 benda). Perkembangan subitizing ini terjadi sesuai dengan pertambahan usia anak selama masa prasekolah, anak dapat melakukan subitizing 1-4 pada anak usia 3 tahun dan 1-5 pada usia 4 atau 5 tahun  (Damon, 1998).

2. Counting (membilang)
Kebanyakan apa yang diketahui anak usia prasekolah mengenai bilangan terkait dengan perkembangan kemampuan membilang mereka. Membilang sekelompok benda adalah tugas yang kompleks, melibatkan pemikiran, persepsi, dan gerakan, namun kompleksitasnya kerap terkubur karena kebiasaan/familiarnya hal tersebut. Coba pahami apa yang dibutuhkan untuk membilang sekelompok benda. Objek yang akan dibilang harus diidentifikasi dan dibedakan dari objek yang tidak akan dibilang, juga dari objek yang telah dibilang sebelumnya. Objek dibilang dengan memasangkan setiap objek dengan representasi verbal (biasanya nama bilangan). Lalu perlu dilakukan tindakan memasangkan setiap objek dengan kata yang diucapkan. Akhirnya, seseorang perlu memahami hasil membilang yang merepresentasikan jumlah benda yang dibilang.
Begitu anak belajar untuk membilang, pola pikir mereka dalam konsep bilangan menjadi berubah. Membilang bukan semata menyebutkan nama bilangan secara berurutan. Harus ada objek yang dibilang, dan harus ada prosedur dimana setiap nama bilangan yang disebutkan harus berkorespondensi dengan salah satu objek yang dibilang. Pada awalnya objek-objek yang digunakan dapat dilihat, misalnya manik, jari, tangga dan sebagainya. Anak tidak hanya harus mampu mengamati objek, tapi juga harus bisa membayangkan objek tersebut sebagai satuan yang akan dibilang. Selanjutnya, anak menjadi mampu membilang sekelompok benda dan juga objek yang tidak secara nyata mereka lihat. Anak yang membilang juga harus selalu menciptakan representasi mental dari objek yang mereka bilang. Proses menciptakan ini tergambar dengan jelas saat anak dapat membilang objek dimana objek tersebut tidak bisa dilihat, didengar, atau diraba. Membilang tanpa hadirnya objek adalah titik kulminasi dari proses perkembangan selanjutnya yang lebih kompleks. Proses tersebut meliputi perkembangan berkelanjutan dari kemampuan menciptakan unit objek yang akan dibilang, awalnya atas dasar persepsi terhadap objek (eksternal) lalu selanjutnya atas dasar representasi internal.
Untuk membilang, anak perlu mengingat nama bilangan dan urutannya dengan benar. Membilang dapat dilihat sebagai menyebutkan daftar yang panjang tak terbatas dan berurut dari nama bilangan. Daftar nama bilangannya mulai dari 1, dan setiap bilangan dalam daftar memiliki “unique successor”. Hal ini menciptakan urutan tertentu, yang bernama  1,2, 3, 4, 5, 6, . . . . Merupakan hal yang salah apabila melewatkan nama bilangan dari daftar, atau menukar urutan nama bilangan dalam daftar. Juga, setiap nama bilangan hanya muncul sekali, sehingga salah apabila mengulang nama bilangan yang sama. Daftar nama bilangan penting karena dapat digunakan sebagai bagian dari membilang satu-satu untuk menyatakan ada berapa benda dalam kumpulan tersebut.  Membilang membuat seseorang dapat mengkuantifikasi secara tepat kumpulan yang lebih besar daripada kumpulan yang dapat dengan mudah dikenali (sampai tiga atau empat). Membilang artinya mendaftar nama bilangan dalam urutan, biasanya mulai dari 1, namun kadang-kadang mulai dari nama bilangan yang lain, misalnya 5, 6, 7, . . . . Bentuk lain dari membilang adalah membilang lompat (skip counting), dimana seseorang melompat 2, 3 atau empat bilangan. Misalnya 2, 4, 6, . . . , and membilang mundur seperti 10, 9, 8, 7, . . . .
Dalam membilang, nama bilangan yang terakhir diucapkan merupakan jumlah dari benda yang dihitung dalam kelompok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa membilang merupakan jembatan yang menghubungkan daftar nama bilangan dengan konsep cardinality. Dengan demikian, membilang adalah menambah: setiap membilang menambah satu lebih pada kelompok yang sebelumnya. Jadi, jika membilang mundur berarti mengurang satu-satu. Hal ini berguna untuk digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan menjumlah dan mengurang.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari kemampuan anak membilang;
a.         Counting principles
Ada 4 prinsip yang harus dipenuhi dalam proses membilang:
1.                  Masing-masing objek yang dibilang harus ditempatkan satu-satu sesuai dengan nama bilangannya. Hal ini disebut sebagai prinsip one-to one-correspondence.
2.                  Daftar nama bilangan harus disebutkan dalam urutan yang tetap setiap kali sekelompok objek dibilang. Anak harus membilang dengan urutan satu, dua, tiga, empat...dan seterusnya. Prinsip ini disebut stable order rule.
3.                  Urutan objek yang dibilang tidak berpengaruh, sehingga anak bisa mulai dengan objek yang mana saja dan membilangnya dengan urutan bagaimana saja. Hal ini dikenal dengan order irrelevance rule.
4.                  Nama bilangan yang terakhir menunjukkan jumlah objek dalam kumpulan tersebut. Hal ini dinamakan cardinality rule, yang berhubungan dengan pertanyaan ”berapa banyak”.
Prinsip-prinsip membilang di atas akan menunjukkan keterampilan membilang anak.
b.   Counting Stages
1.      Rote Counting
            Anak menggunakan rote counting untuk mengetahui beberapa nama bilangan, namun masih belum bisa menyebutkannya secara berurut. Intinya, anak belum bisa melakukan perhitungan korespondensi satu-satu, yaitu menyebutkan nama bilangan yang tepat, dengan urutan yang tepat, sambil menunjuk benda yang dihitung satu persatu.
2.      Rational Counting
            Pada tahap rational counting, anak bukan saja hanya bisa menggunakan prinsip korespondensi satu-satu dalam menghitung, namun juga dapat menjawab pertanyaan mengenai jumlah benda yang sedang dibilang. Anak yang sudah berada pada tahap ini memiliki kemampuan menerapkan empat prinsip membilang.
c.       Counting Strategis
               Setelah anak menguasai rational counting sampai 10 atau sampai 20, tahap selanjutnya yang harus dikuasai anak adalah strategi menghitung.
1.      Counting On
Dalam counting on, anak menyebutkan nama bilangan dengan benar untuk menghitung maju dan bisa mulai di bilangan berapapun untuk mulai menghitung maju. Mempraktekkan counting on mengarah pada penemuan pola-pola. Counting on juga merupakan strategi yang penting untuk mengembangkan penjumlahan.
2.      Counting Back
            Ketika anak menghitung mundur, mereka memberikan nama bilangan yang benar. Strategi ini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mengurang.
3.      Counting Pratices
            Latihan membilang meliputi counting on dan counting back dalam kegiatan sehari-hari.

3.  Early Number Development

a.      Developing Number Benchmark
                    Number benchmark adalah jangkar persepsi (perceptual anchor) yang terinternalisasi dari banyak pengalaman konkrit yang terakumulasi selama beberapa tahun. Misalnya,  5 dan 10 (bilangan yang menunjukkan jumlah jari di satu dan 2 tangan), merupakan dua benchmark awal. Selanjutnya, anak mempelajari bahwa 6 adalah satu tangan ditambah satu jari.

b.      Making Connection
            Perkembangan angka 1 sampai dengan 5 secara prinsip berjalan melalui pemahaman terhadap pola yang kemudian diasosiasikan dengan penamaan secara verbal dan kemudian lambang bilangan secara tertulis. Misalnya pada anak ditunjukkan gambar sepeda roda tiga, kemudian ditanyakan padanya ’ada berapa roda pada sepeda itu?’. Pertanyaan ini mengenalkan anak pada konsep tiga, yaitu mengenali jumlah tiga, menyebutkan nama ”tiga” dan lalu menuliskan lambang bilangan 3.

4. Cardinal, Ordinal, Nominal Number
         Secara sederhana, cardinal number adalah konsep bilangan yang menjelaskan pertanyaan ”berapa banyak?”. Konsep lain yang perlu dikuasai anak adalah ordinal number, yang secara sederhana digambarkan sebagai jawaban dari pertanyaan ”yang mana?”. Kegiatan menyusun benda berdasarkan urutan tertentu mengantarkan anak pada pemahaman mengenai ordinal number. Saat anak bisa mengurutkan benda dengan benar, anak juga bisa menjawab pertanyaan menurut posisinya, misalnya yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Penelitian menunjukkan bahwa anak mengenal beberapa angka ordinal pertama, kedua dan ketiga sebelum mereka masuk sekolah (Payne&Huinker, 1993 dalam Reys, et al, 1998). Konsep selanjutnya yang harus dikenalkan pada anak adalah konsep nominal number. Contohnya adalah nomer di baju pemain sepakbola, kode pos, nomor telpon. Pada saat mengajarkan konsep-konsep cardinal, ordinal dan nominal, anak tidak perlu dikenalkan pada istilahnya. Yang penting anak tahu, bilangan mana yang bisa dijumlahkan/dikurangi dan bilangan mana yang tidak bisa dijumlahkan/dikurangi.

5. Writing Numerals
            Setiap bilangan dalam daftar bilangan memiliki nama bilangan tertentu untuk diucapkan dan dapat dilambangkan dengan lambang tertulis tertentu. Standar NCTM (1989 dalam Reys et al 1998) tidak merekomendasikan penekanan untuk menulis lambang bilangan pada anak usia dini. Sebaliknya, anak usia dini harus fokus pada perkembangan konsep bilangan dan hubungan antar bilangan. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa anak usia dini mengalami kesulitan menuliskan lambang bilangan seperti mereka kesulitan menuliskan huruf (Payne and Hunker 1993 dalam Reys et al, 1998). Motorik halus dan koordinasi visual motorik yang belum matang menyebabkan anak mengalami kesulitan saat harus menulis lambang bilangan. Pengenalan yang terlalu awal pada lambang juga bisa membuat anak mengalami frustrasi.

 
6. Model Operasi Bilangan
            Bilangan membentuk sistem yang koheren dimana bilangan dapat dibandingkan, ditambah, dikurangi, dikalikan dan dibagi. Seperti juga bilangan merupakan abstraksi dari gagasan kuantitas, hubungan “kurang dari”, “lebih dari”, dan “sama dengan” serta operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian adalah abstraksi dari perbandingan, penggabungan dan pemisahan kuantitas.  Hubungan dan operasi bilangan tersebut dapat diaplikasikan dalam beragam situasi.
Dalam beberapa situasi  terbukti secara visual bahwa ada lebih banyak benda dalam satu kelompok dibanding kelompok lainnya, misalnya saat perbedaan jumlahnya cukup banyak.  Namun ada situasi dimana tidak terlalu jelas perbedaan jumlah antara dua kelompok yang dibandingkan, sehingga tidak bisa dilihat mana yang lebih banyak dan mana yang lebih sedikit.  Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memasangkan satu-satu kelompok benda yang dibandingkan. Misalnya jika anak harus membandingkan manik hitam dan manik putih dengan cara memasangkan manik hitam satu-satu dengan manik putih. Jika ada lebih paling sedikit satu manik putih, berarti manik putih yang lebih banyak. Jika ada lebih paling sedikit manik hitam, berarti manik hitam yang jumlahnya lebih banyak. Dan kalau tidak ada kelebihan, berarti kedua kelompok manik jumlahnya sama banyak (meskipun anak mungkin tidak tahu pasti dan tidak perlu tahu pasti berapa jumlahnya). Kalau memasangkan satu-satu tidak memungkinkan, anak dapat membilang masing-masing kelompok manik untuk menentukan kelompok mana yang lebih banyak. Misalnya, seorang anak tahu bahwa ada lebih banyak manik dalam kelompok yang terdiri dari 8 manik dibandingkan dengan kelompok yang terdiri dari 7 manik, karena  8 berada setelah 7 dalam daftar nama bilangan. Membilang kemudian menyediakan cara yang lebih maju dibandingkan dengan memasangkan satu-satu karena didasarkan pada pengetahuan bagaimana bilangan dibandingkan. Membilang juga merupakan cara yang lebih baik dalam memandingkan karena dapat digunakan untuk kelompok yang secara fisik jauh untuk dibandingkan.
Penjumlahan dan pengurangan digunakan untuk menghubungkan jumlah sebelum dan sesudah penyatuan atau pemisahan, untuk menghubungkan jumlah dalam bagian dan keseluruhan, atau untuk mengatakan secara persis bagaimana dua jumlah dibandingkan. Situasi dan ceritera penjumlahan dan pengurangan dapat diformulasikan dengan variasi yang lebih beragam, tidak hanya sekedar menggunakan bahasa sederhana “menambah” atau “mengambil”. Metoda yang digunakan oleh anak untuk menyelesaikan masalah penjumlahan dan pengurangan berdasarkan pada hubungan daftar nama bilangan dan konsep cardinality (jumlah).
Menghubungkan dan mengkomunikasikan adalah merupakan penekanan yang penting di usia pra-sekolah. Anak harus belajar untuk menggambarkan pemikiran dan pemalaran mereka, pola yang mereka lihat dan mereka harus menggunakan bahasa matematika untuk benda, situasi dan gagasan. Pengalaman informal matematika, pemecahan masalah, eksplorasi dan bahasa menyediakan dasar untuk pemahaman dan penggunaan bahasa dan lambang matematika. 
            Pemahaman mengenai makna penjumlahan dan pengurangan menjadi dasar dari pemahaman anak akan operasi matematika selanjutnya. Oleh karena itu, anak harus memiliki konsep operasi yang baik. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing operasi matematika disajikan dalam pendekatan dengan menggunakan model yang berbentuk fisik. Pengalaman tersebut membuat anak memahami  bahwa operasi penumlahan dan pengurangan dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Anak juga akan memahami hubungan dari setiap operasi yang dilakukan.
Pada anak, pemahaman konseptual dapat terjadi jika simbol-simbol matematika diungkapkan menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi bermakna dan dipahami oleh anak. “Bahasa” yang dapat digunakan untuk menggambarkan operasi  penjumlahan dan pengurangan adalah sebagai berikut (Reys et al, 1998) :

1.            Memisahkan atau mengambil; memindahkan sejumlah kuantitas dan melihat berapa banyak yang tertinggal (untuk pengurangan), dan sebaliknya (untuk penjumlahan). Menurut studi yang dilakukan oleh Gibb (1956, dalam  Reys, R.E, et al, 1998), penggunaan bahasa ini untuk menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan adalah cara yang termudah untuk dipahami oleh anak.
2.            Membandingkan, atau menemukan perbedaan yang melibatkan dua kelompok benda; memasangkan mereka satu-satu dan melihat berapa perbedaan jumlah antara mereka.
3.            Menemukan “berapa banyak lagi yang dibutuhkan”, melibatkan sejumlah total kuantitas, mengetahui jumlah dari satu bagiannya dan mencari berapa sisa bagian yang lain.  

DAFTAR PUSTAKA
Kellough, Richard D.1996.Integrating Mathematics and Science for Kindergarten and Primary Children. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kilpatrick, Jeremy et al.2009. Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. National Research Council.
Rains, et al.2008.The Evolution of the Importance of Multisensory  Techniques in Elementary Mathematic: Theory and Practice. Journal of Theory and Practice in Education
Reys. E, et al.1998. Helping Children Learn Mathematics; Fifth Edition. USA: Allyn & Bacon.









Leave a Reply.

    Archives

    July 2013

    Categories

    All
    Attachment Parenting
    Disiplin Positif
    Parenting
    Parenting Anak Dan Remaja
    Penerapan Disiplin
    Perkembangan Berhitung
    Persiapan Kerja
    Psikologi Anak
    Psikologi Kerja
    Psikologi Pendidikan
    Psikologi Perkembangan
    Psikologi Remaja
    Teori Attachment
    Teori Kelekatan