Disiplin Positif (http://en.wikipedia.org/wiki/Parenting/Positive-Discipline/ diakses pada 03/02/2010
Disiplin positif adalah sistem disiplin yang biasa digunakan oleh sekolah yang memfokuskan pada tingkah laku positif anak. Pendekatan disiplin positif mengajak para pendidik dan orang tua untuk menyadari dan meyakini, bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah tingkah baik dan tingkah laku buruk. Guru dan orang tua bisa mengajarkan dan mendorong munculnya tingkah laku baik, pada saat mengelola tingkah laku buruk tanpa harus menyakiti anak baik secara verbal maupun fisik. Disiplin positif memiliki sejumlah cara atau metode, yang jika digunakan secara bersama-sama dan dikombinasikan akan lebih efektif dalam mengelola berbagai tingkah laku buruk anak. Model The Positive Discipline Parenting berdasarkan pada hasil kerja dari Alfred Adler dan Rudolf Dreikurs. Model ini mendorong guru dan orang tua untuk menghormati anak, tetapi tidak mendorong untuk memanjakan dan pampering mereka karena akan menimbulkan masalah sosial dan tingkah laku bagi anak-anak dikemudian hari.
Beberapa metode untuk menerapkan disiplin positif:
1. Jika tingkah laku yang tidak bisa diterima oleh orang tua merefleksikan adanya konflik kebutuhan, maka orang tua bisa menggunakan I-messages untuk mengkomunikasikan kebutuhannya. I-message tidak menyalahkan, tidak menilai tingkah laku yang dipermasalahkan, terutama ketika bertabrakan dengan kebutuhan yang menyatakannya. I-messages menggambarkan bagaimana tingkah laku yang tidak bisa diterima berdampak pada yang menyatakannya, dan bagaimana itu mempengaruhi perasaannya. I-messages mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan dan bukan orangnya. Salah satu contoh I-messages adalah sebagai berikut: ” jika kamu membuang pasir dari kotak pasir ke karpet, maka saya harus menghabiskan waktu untuk membersihkannya, dan saya tidak suka itu”.
2. Mistaken Goal, merupakan konsep yang dikemukakan oleh Rudolf Dreikurs, hal ini merujuk pada empat tujuan yaitu power (kekuatan), attention (perhatian), revenge (balas dendam), dan avoidance of failure (menghindari kegagalan) yang menurut Dreikurs sebagai empat motivasi umum yang mendorong tingkah laku buruk pada anak-anak atau pra- remaja. Tujuannya disebut mistaken goals sebab anak-anak sendiri pada dasarnya tidak berkeinginan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, kecuali orang tuanya memahami situasinya secara psikologis. Dreikurs mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya dari masing-masing tujuan sebagai berikut:
Mistaken goal Kebutuhan Anak
Logical Consequences (konsekuensi logis), contoh konsekuensi logis adalah saat anak harus memilih salah satu acara televisi yang ingin ditontonnya dan tidak bisa menonton keduanya. Anak harus membuat keputusan dan harus menerima konsekuensinya. Anak juga bisa sedikit belajar mengenai manajemen waktu jika waktu untuk menonton acara televisi selanjutnya sudah terisi dengan kegiatan lain sebagai konsekuensinya. Konsekuensi logis adalah konsekuensi yang harus diterima berdasarkan apa yang sudah ditawarkan orang tua pada anaknya. Ada 4 kriteria R pada konsekuensi logis, yaitu:
· to belong and feel loved (rasa dimiliki dan dicintai)
· to be important (merasa penting)
· to be able to influence (bisa memberi pengaruh)
· to feel protected dan secure (merasa terlindungi dan aman)
Tujuan dari model ini adalah untuk meningkatkan kerjasama, gaya disiplin demokratik yang dicapai melalui aturan-aturan umum dalam kehidupan keluarga dan konsensus yang dicapai melalui konseling keluarga. Model ini meningkatkan kemampuan peserta untuk memahami kebutuhan social anak, sikap mengabaikan yang mendorong munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan pada anak. Orang dewasa dan anak-anak dipandang sejajar dan terpenuhinya kebutuhan kedua belah pihak sangat ditekankan. Orang tua dan fasilitator belajar untuk membangun kerja sama, mengelola konflik, dan menyusun aturan melalui konsekuensi logis. Konsistensi dan dorongan digunakan untuk meningkatkan kemandirian dan untuk memungkinkan anak belajar bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka. Peserta pelatihan diarahkan untuk berorientasi pada tingkah laku aktual (act situation-oriented), memberi tawaran pada anak-anak, dan untuk mengapresiasi setiap tingkah laku positif anak serta tidak bersikap reaktif terhadap tingkah laku buruk anak. Selain itu, self esteem dan rasa tanggung jawab orang tua dan anak-anak juga ditingkatkan.
5. IRIS Strategy, merupakan kependekan dari Interrupt (interupsi), Respect (hormat), Ignore (mengabaikan), Self-determined action (bereaksi berdasarkan pertimbangan sendiri), sebuah strategi yang mengikuti sebuah skema mengenai bagaimana menghadapi tingkah laku yang mengganggu, agresif, dan tipe-tipe tingkah laku anak yang tidak diinginkan yang lainnya. Skemanya bertujuan agar orang tua menghindarkan dirinya untuk turut campur (interrupt), untuk mempertimbangkan dan menghargai perspektif anak (respect), untuk mengabaikan tingkah laku buruk anak dan agar tidak menghukumnya (ignore) dan untuk bereaksi beberapa saat kemudian setelah orang tua memikirkan dan mempertimbangkannya sebagai respon yang pantas diberikan untuk mencegah terjadinya masalah (self-determined action).
6. Special Moments, atau edelsteinmomente atau jewel moment, berarti anak mendapatkan perhatian yang special dengan kualitas yang khusus sebagai bentuk dedikasi orang tua padanya di waktu-waktu tertentu. Special moment merupakan alat untuk membawa self esteem anak mencapai derajat tertentu. Special moment dapat mengambil situasi-situasi yang biasa terjadi dalam interaksi anak dan orang tua, namun yang melibatkan afeksi secara mendalam. Untuk anak-anak yang lebih muda, special moment bisa terjadi saat orang tua memeluk anak ketika bangun di pagi hari, permainan-permainan seperti saatnya berpelukan atau saat membacakan buku menjelang tidur.
Disiplin positif adalah sistem disiplin yang biasa digunakan oleh sekolah yang memfokuskan pada tingkah laku positif anak. Pendekatan disiplin positif mengajak para pendidik dan orang tua untuk menyadari dan meyakini, bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah tingkah baik dan tingkah laku buruk. Guru dan orang tua bisa mengajarkan dan mendorong munculnya tingkah laku baik, pada saat mengelola tingkah laku buruk tanpa harus menyakiti anak baik secara verbal maupun fisik. Disiplin positif memiliki sejumlah cara atau metode, yang jika digunakan secara bersama-sama dan dikombinasikan akan lebih efektif dalam mengelola berbagai tingkah laku buruk anak. Model The Positive Discipline Parenting berdasarkan pada hasil kerja dari Alfred Adler dan Rudolf Dreikurs. Model ini mendorong guru dan orang tua untuk menghormati anak, tetapi tidak mendorong untuk memanjakan dan pampering mereka karena akan menimbulkan masalah sosial dan tingkah laku bagi anak-anak dikemudian hari.
Beberapa metode untuk menerapkan disiplin positif:
1. Jika tingkah laku yang tidak bisa diterima oleh orang tua merefleksikan adanya konflik kebutuhan, maka orang tua bisa menggunakan I-messages untuk mengkomunikasikan kebutuhannya. I-message tidak menyalahkan, tidak menilai tingkah laku yang dipermasalahkan, terutama ketika bertabrakan dengan kebutuhan yang menyatakannya. I-messages menggambarkan bagaimana tingkah laku yang tidak bisa diterima berdampak pada yang menyatakannya, dan bagaimana itu mempengaruhi perasaannya. I-messages mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan dan bukan orangnya. Salah satu contoh I-messages adalah sebagai berikut: ” jika kamu membuang pasir dari kotak pasir ke karpet, maka saya harus menghabiskan waktu untuk membersihkannya, dan saya tidak suka itu”.
2. Mistaken Goal, merupakan konsep yang dikemukakan oleh Rudolf Dreikurs, hal ini merujuk pada empat tujuan yaitu power (kekuatan), attention (perhatian), revenge (balas dendam), dan avoidance of failure (menghindari kegagalan) yang menurut Dreikurs sebagai empat motivasi umum yang mendorong tingkah laku buruk pada anak-anak atau pra- remaja. Tujuannya disebut mistaken goals sebab anak-anak sendiri pada dasarnya tidak berkeinginan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, kecuali orang tuanya memahami situasinya secara psikologis. Dreikurs mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya dari masing-masing tujuan sebagai berikut:
Mistaken goal Kebutuhan Anak
- power otonomi, ikut memutuskan, tanggung jawab
- attention asa memiliki/dimiliki, pengakuan, keterlibatan
- revenge keadilan, perlakuan yang sama
- avoidance of failure dorongan, dukungan
Logical Consequences (konsekuensi logis), contoh konsekuensi logis adalah saat anak harus memilih salah satu acara televisi yang ingin ditontonnya dan tidak bisa menonton keduanya. Anak harus membuat keputusan dan harus menerima konsekuensinya. Anak juga bisa sedikit belajar mengenai manajemen waktu jika waktu untuk menonton acara televisi selanjutnya sudah terisi dengan kegiatan lain sebagai konsekuensinya. Konsekuensi logis adalah konsekuensi yang harus diterima berdasarkan apa yang sudah ditawarkan orang tua pada anaknya. Ada 4 kriteria R pada konsekuensi logis, yaitu:
- Konsekuensi harus secara langsung berkaitan (related) dengan pilihan yang ditawarkan
- Konsekuensi harus memungkinkan anak bertanggung jawab (responsibility) dengan tingkah laku mereka
- Konsekuensi harus masuk akal (reasonable)
- Konsekuensi harus dberikan dengan tetap menghormati anak (respectful)
- Konsekuensi logis tidak boleh disamakan dengan hukuman, anak harus bisa memahami alasan dibalik konsekuensi logis.
· to belong and feel loved (rasa dimiliki dan dicintai)
· to be important (merasa penting)
· to be able to influence (bisa memberi pengaruh)
· to feel protected dan secure (merasa terlindungi dan aman)
Tujuan dari model ini adalah untuk meningkatkan kerjasama, gaya disiplin demokratik yang dicapai melalui aturan-aturan umum dalam kehidupan keluarga dan konsensus yang dicapai melalui konseling keluarga. Model ini meningkatkan kemampuan peserta untuk memahami kebutuhan social anak, sikap mengabaikan yang mendorong munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan pada anak. Orang dewasa dan anak-anak dipandang sejajar dan terpenuhinya kebutuhan kedua belah pihak sangat ditekankan. Orang tua dan fasilitator belajar untuk membangun kerja sama, mengelola konflik, dan menyusun aturan melalui konsekuensi logis. Konsistensi dan dorongan digunakan untuk meningkatkan kemandirian dan untuk memungkinkan anak belajar bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka. Peserta pelatihan diarahkan untuk berorientasi pada tingkah laku aktual (act situation-oriented), memberi tawaran pada anak-anak, dan untuk mengapresiasi setiap tingkah laku positif anak serta tidak bersikap reaktif terhadap tingkah laku buruk anak. Selain itu, self esteem dan rasa tanggung jawab orang tua dan anak-anak juga ditingkatkan.
5. IRIS Strategy, merupakan kependekan dari Interrupt (interupsi), Respect (hormat), Ignore (mengabaikan), Self-determined action (bereaksi berdasarkan pertimbangan sendiri), sebuah strategi yang mengikuti sebuah skema mengenai bagaimana menghadapi tingkah laku yang mengganggu, agresif, dan tipe-tipe tingkah laku anak yang tidak diinginkan yang lainnya. Skemanya bertujuan agar orang tua menghindarkan dirinya untuk turut campur (interrupt), untuk mempertimbangkan dan menghargai perspektif anak (respect), untuk mengabaikan tingkah laku buruk anak dan agar tidak menghukumnya (ignore) dan untuk bereaksi beberapa saat kemudian setelah orang tua memikirkan dan mempertimbangkannya sebagai respon yang pantas diberikan untuk mencegah terjadinya masalah (self-determined action).
6. Special Moments, atau edelsteinmomente atau jewel moment, berarti anak mendapatkan perhatian yang special dengan kualitas yang khusus sebagai bentuk dedikasi orang tua padanya di waktu-waktu tertentu. Special moment merupakan alat untuk membawa self esteem anak mencapai derajat tertentu. Special moment dapat mengambil situasi-situasi yang biasa terjadi dalam interaksi anak dan orang tua, namun yang melibatkan afeksi secara mendalam. Untuk anak-anak yang lebih muda, special moment bisa terjadi saat orang tua memeluk anak ketika bangun di pagi hari, permainan-permainan seperti saatnya berpelukan atau saat membacakan buku menjelang tidur.